timurpost.id - Setiap 23 Januari, Provinsi menggelar hari Patriotik atau yang dikenal dengan hari kemerdekaan Gorontalo. Sebab, dua tahun sebelum indonesia mereka, Gorontalo sudah lebih dulu memproklamasikan kemerdekaan.
Maka tak bisa dipungkiri, jika setiap tanggal 23 Januari ada perayaan hari Patriotik. Agendanya pun sama dengan hari kemerdekaan indonesia, mulai dari gerak jalan, upacara bendera hingga pemasangan bendera merah putih.
Konon kemerdekaan itu tak lepas dari perjuangan dari seorang Pahlawan Nasional asal Gorontalo. Namanya nani Wartabone, menurut buku Republik Indonesia: Provinsi Sulawesi (1953:205), Nani Wartabone menjadi kepala militer pemerintahan darurat ini, sementara Kusno Danupoyo menjabat kepala sipil. Pemerintahan darurat ini terkoneksi dengan gerakan kemerdekaan di Sulawesi Tengah.
Nani Wartabone lahir di kalangan keluarga berada. Ayahnya bekerja untuk Pemerintah Hindia Belanda, ibunya seorang ningrat. Meski tak pernah hidup susah, bukan berarti ia tega tutup mata untuk rakyatnya.
Nani Wartabone kecil tak sampai hati melihat rakyat kecil dihukum, meski mereka tahanan ayahnya sekalipun. Ia benci sekolah karena guru-gurunya yang orang Belanda mengagung-agungkan Negeri Belanda setinggi langit dan merendahkan tanah airnya.
Awal Perlawanan
Persinggungannya dengan politik diawali saat ia menjadi sekretaris Jong Gorontalo di Surabaya pada 1923. Nani Wartabone juga menjadi pemimpin cabang Partai Nasional Indonesia (PNI) di daerahnya.
Hingga, pada 23 Januari 1942, tiga tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, ia sudah menyatakan kemerdekaan.
Kala itu, pasukan yang dipimpin Nani Wartabone menangkap semua pejabat Belanda di Gorontalo. Ribuan warga Gorontalo turun ke jalan tanpa memandang suku, agama, dan jabatan, mereka menduduki kantor-kantor pemerintahan Belanda. Kepala polisi, asisten residen, dan kepala kontrol ditahan.
Bendera penjajah pun diturunkan, Merah Putih dikibarkan di depan Kantor Pos Gorontalo. Peristiwa saat itu dikenal sebagai Hari Patriotik, sebutan lainnya: proklamasi kecil.
Yos Wartabone, anak Nani Wartabone, merupakan saksi hidup yang melihat langsung perjuangan ayahnya melawan penjajah Belanda.
Bukan Dongeng Belaka
Dia mengatakan, perjuangan ayahnya bukan merupakan sebuah dongeng belaka, melainkan bagian dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Hal ini diceritakan Yos saat disambangi langsung Liputan6.com.
"Tanggal 23 Januari 1942 atau dua tahun sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Gorontalo itu berhasil mengusir penjajah yang dipimpin langsung oleh ayah saya, dan sampai dengan saat ini ia dikenal dengan Pahlawan Nasional. Hari kemerdekaan itu dikenal dengan Hari Patriotik," cerita Yos.
Ia menambahkan, ayahnya bisa mengusir penjajah hanya dengan senjata tradisional.
"Yang dipakai ayah saya waktu itu hanyalah sebuah tombak dan pedang, peralatan seadanya. Tetapi dengan kegigihan dan usaha, mampu menumpas penjajah yang saat itu bersenjata lengkap," kata Yos.
Konon, Nani Wartabone memiliki bermacam kekuatan yang saat itu membentengi dirinya saat berada dalam medan pertempuran.
"Nani Wartabone dikabarkan bisa menghilang, bisa menjadi benda apa saja yang dia mau seperti berubah menjadi pohon besar. Bahkan menurut sejarah, Bapak Nani Watabone pernah lolos beberapa kali percobaan pembunuhan. Seperti contoh kala itu Nani Wartabone ditangkap dan akan ditembak mati. Namun, entah ada hal gaib apa seluruh senjata Belanda itu tidak meledak," ungkap Abdullah Pakaya, seorang saksi sejarah.
Kemudian, Nani Wartabone juga pernah diikat kaki dan tangannya menggunakan tali lalu dikerek dengan mobil, tetapi para penjajah Belanda tidak mampu menarik tubuh Nani Wartabone.
"Hingga akhirnya Belanda tunduk dan meninggalkan Gorontalo," tandas Abdullah.
Namun, sebulan setelah proklamasi kemerdekaan Gorontalo, tentara Jepang datang dan melarang berkibarnya bendera Merah Putih.
Nani Wartabone kemudian mulai memimpin pergerakan untuk melawan kependudukan Jepang. Namun sayangnya, Nani tidak kuasa melawan kekuatan Negeri Matahari Terbit itu.
Nani Wartabone akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Manado pada 30 Desember 1943. Ia baru dilepaskan Jepang pada 6 Juni 1945 ketika tanda-tanda kekalahan Jepang dari sekutu mulai nampak.
Setelah menyerah kepada sekutu, Jepang masih tetap menghormati Nani Wartabone sebagai pemimpin rakyat Gorontalo.
Hal itu terbukti dengan penyerahan pemerintahan Gorontalo dari Jepang kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945.
Sejak hari itu Sang Saka Merah Putih kembali berkibar di bumi Gorontalo setelah diturunkan Jepang sejak 6 Juni 1942.
Nani Wartabone mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan 2003 silam. Presiden Megawati Soekarnoputri kala itu menyerahkan gelar tersebut kepada ahli warisnya yang diwakili oleh salah satu anak laki-lakinya bernama Hi Fauzi Wartabone di Istana Negara pada 7 November 2003.
Untuk mengenang perjuangannya di kota Gorontalo dibangun Tugu Nani Wartabone untuk mengingatkan masyarakat Gorontalo pada kejadian yang bersejarah pada 23 Januari 1942. Namanya juga diabadikan untuk Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara.