Kedelai |
timurpost.id - Masyarakat Gorontalo terkenal dengan gemar makan tempe dan tahu. Hal itu menjadikan Gorontalo sebagai daerah konsumen kedelai, yang menjadi bahan baku utama tahu dan tempe.
Informasi itu juga sinkron dengan data Badan Pusat Statistik yang mencatat Indonesia sebagai negara konsumen kedelai terbesar kedua di dunia setelah China. Namun sayangnya, sebagian besar kebutuhan kedelai tersebut dipasok dari impor dari luar negeri,
Khusus di tanah serambi madinah, para pembuat tahu dan tempe mendapatkan pasokan kedelai dari negara Amerika Serikat (AS) dan Kanada. Meski begitu, mereka seringkali kesulitan mendapatkan kedelai luar itu.
Menurut Muis, salah satu pengusaha tahu dan tempe di Kabupaten Bone Bolango, dirinya kadang kesulitan mencari kedelai lokal. Kalaupun ada, pasokan sangat sedikit dan tidak berkelanjutan.
"Kalau kedelai lokal bagus, tapi petani di Gorontalo tidak rutin menanam. Belum lagi kedelai lokal itu banyak yang kotor," kata Muis.
Menurutnya, kedelai lokal yang kotor bukan berarti tidak bisa digunakan, akan tetapi masih membutuhkan waktu untuk membersihkannya. Berbeda dengan kedelai impor yang sudah bersih dan siap untuk digunakan.
"Itu bedanya, kalau kedelai lokal memang belum begitu bersih. Tapi rasa tahu dan tempe lebih enak, kalau kedelai impor rasanya biasa saja," ujarnya.
Penggunaan Teknologi Kurang
Dengan kondisi itu, terpaksa mereka harus beli kedelai impor. Harga kedelai impor di Gorontalo saat ini berada di kisaran harga Rp750 ribu hingga Rp800 ribu per karung.
"Memang mahal, belum lagi adakalanya sulit didapatkan," ujarnya.
“Bayangkan, dalam sebulan saya harus memenuhi kebutuhan pabrik 4 sampai 5 ton,” ungkapnya.
Meski begitu, hingga kini belum ada langkah serius pemerintah Gorontalo untuk membudidayakan kedelai. Tanah Gorontalo yang terbilang subur, pemerintah lebih cenderung memperhatikan komoditi lain seperti jagung.
Dengan besarnya permintaan kedelai di Gorontalo, Harusnya, ini menjadi momentum pemerintah memprogramkan budidaya kedelai. Tidak hanya budidaya, teknologi tepat guna juga diharapkan bisa diterapkan demi menunjang kerja petani kedelai di Gorontalo.
"Darah Gorontalo kan hanya memiliki dua musim. Panas dan hujan, harusnya kedelainya lebih baik dari yang impor," tambah Muis.
"Di luar negeri saja, contoh Amerika yang memiliki 4 musim, kedelainya bisa baik. Karena ada perhatian pemerintah dengan menggunakan teknologi, itu yang harusnya diadopsi Gorontalo," ia menandaskan.